Kampanye Gay di Jawa Pos



Menanggapi cover story di Jawa Pos Minggu (29/10), penulis tergelitik untuk mengulas peran media dalam gerakan kelompok gay (dan lesbian) untuk meraih penerimaan masyarakat. Seperti yang telah diulas di koran tersebut pada tanggal dimaksud, masyarakat secara berangsur mengembangkan toleransi, kemudian penerimaan, bahkan akhirnya dukungan terhadap kaum gay. Tengok saja film Arisan! besutan Nia Dinata yang memperkenalkan sosok gay yang maskulin, sehingga stereotype gay sebagai pria gemulai yang dipegang masyarakat selama lebih dari dua dekade mulai ditinggalkan.

Banyak yang mengira keberhasilan gerakan gay di ujung abad 20 terutama karena sumbangsih para ilmuwan seperti Simon LeVay dan Dean Hamer. Namun demikian, sesungguhnya media berperan lebih dominan dalam kampanye ini. Seperti yang banyak diketahui, LeVay dikenal atas temuannya mengenai perbedaan ukuran hipotalamus pria heteroseksual dan homoseksual, sedangkan Hamer dikenal karena menemukan landasan genetis homoseksualitas. “Fakta-fakta ilmiah” ini diterjemahkan oleh media sebagai bukti nyata bahwa gay diciptakan sejak lahir.

Yang jarang diungkap oleh media adalah keterbatasan-keterbatasan pada penelitian LeVay, yang tidak memungkinkannya untuk membuat klaim tersebut. Keterbatasan pada penelitian LeVay antara lain, orientasi seksual subjek penelitian sulit untuk dipastikan, mengingat penelitian itu dilakukan atas subjek yang telah meninggal. Selain itu, penyalahgunaan NAPZA, AIDS, dan riwayat penyakit lainnya juga dapat mengubah struktur otak yang diteliti. 


Keterbatasan lain muncul dari sifat otak yang berkembang dan menyusut sejalan dengan peristiwa yang dialami atau perilaku yang dilakukan oleh si pemilik otak tersebut. Masyarakat awam biasanya menganalogikan sisi psikologis dan biologis dari otak manusia sebagai software dan hardware sebuah komputer. Pada kenyataannya, hardware otak juga berfungsi seperti software. Melalui proses belajar, pengalaman, latihan, trauma, dll, struktur otak berubah: Jalur-jalur syaraf menebal, menipis, menyambung, terputus, bertambah, dan berkurang dalam kadar yang dapat diukur. Dengan kata lain, dalam kasus “otak gay” ini, boleh jadi struktur otak ini adalah akibat dari perilaku homoseksualnya semasa hidup, bukan penyebab.

Menanggapi “fakta-fakta ilmiah” yang diklaim media sebagai simpulan hasil penelitiannya, LeVay menandaskan: "It's important to stress what I didn't find. I did not prove that homosexuality is genetic, or find a genetic cause for being gay. I didn't show that gay men are born that way, the most common mistake people make in interpreting my work. Nor did I locate a gay center in the brain." [1].

Sejalan dengan LeVay, Hamer menyatakan: "There is not a single master gene that makes people gay ... I don't think we will ever be able to predict who will be gay." [2]. Pada kesempatan lain, ia kembali menegaskan: "From twin studies, we already know that half or more of the variability in sexual orientation is not inherited. Our studies try to pinpoint the genetic factors...not negate the psychosocial factors." [3] Perlu digarisbawahi, studi lainnya yang serupa justru tidak menemukan bukti diwariskannya kecenderungan homoseksual dari ibu ke anak laki-lakinya, sebagaimana yang sering disimpulkan media dari penelitian Hamer. Dengan kata lain, para ilmuwan yang bersangkutan sebenarnya tidak menyatakan bahwa seseorang dipaksa oleh blueprint genetik atau struktur otaknya untuk menjadi gay.

Diakui atau tidak, “fakta-fakta ilmiah” di media telah menjadi argumen bagi kelompok gay untuk meyakinkan masyarakat bahwa secara biologis mereka telah ditakdirkan demikian, bukan dibentuk oleh lingkungan atau ditulari oleh gay, dan tidak bisa diubah melalui terapi psikologis. Ini dikuatkan dengan pengakuan sebagian gay yang menyatakan, sudah merasakan “sesuatu yang berbeda” yang lazim dianggap sebagai gejala prehomoseksual sejak anak-anak, sehingga pengalaman seksualnya dengan sesama jenis hanya dianggap sebagai pencetus homoseksualitasnya yang tadinya terpendam. Konsekuensi pandangan ini, jika ada seorang laki-laki straight yang diberi rangsangan homoseksual, kemudian ia bisa menikmatinya, maka secara gegabah disimpulkan bahwa selama ini sebenarnya ia adalah seorang homoseks atau biseks. Norma sosial yang terinternalisasi dianggap sebagai penghalang baginya untuk menyadari keberadaan dorongan tersebut.

Pandangan tersebut mengabaikan dua hal: Tubuh manusia dirancang untuk menanggapi rangsangan seksual yang diterimanya, dan manusia cenderung mengulangi pengalaman yang menyenangkan. Ketertarikan seksual terhadap sesama jenis memang tidak ditularkan, namun bahkan mahasiswa psikologi tahun pertama pun tentu sudah mafhum bahwa melalui proses pengkondisian, seseorang bisa dilatih untuk menikmati rangsangan seksual dari siapapun atau apapun.

Apakah selalu semudah itu? Tentu saja tidak. Kerentanan seseorang terhadap pengkondisian ini berbeda-beda, dan peluangnya untuk mengatasi hasil proses ini tetap terbuka. Psikolog Jeffrey Satinover menekankan hal ini dengan pernyataan "Like all complex behavioral and mental states, homosexuality is...neither exclusively biological nor exclusively psychological, but results from an as-yet-difficult-to-quantitate mixture of genetic factors, intrauterine influences...postnatal environment (such as parent, sibling and cultural behavior), and a complex series of repeatedly reinforced choices occurring at critical phases of development." [4]
Namun seringkali informasi-informasi di atas mengalami pembelokan, baik disengaja maupun tidak. Ini disebabkan karena fakta imiah kurang menarik minat atau terlalu rumit untuk dipahami oleh konsumen media. Judul “Gen gay telah ditemukan!” tentu lebih menarik dan mudah dipahami daripada “Terdapat perbedaan ukuran yang signifikan pada INAH3 subjek pria yang diduga homoseksual… dst,” meskipun maknanya sudah melenceng. Selain itu, keterbatasan pemahaman wartawan dalam bidang ini juga memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pembelokan ini.


Bagi masyarakat pada umumnya dan gay pada khususnya, pengaruh “fakta-fakta ilmiah” mengenai homoseksualitas dari media amat bermakna, terutama terhadap norma-norma sosial dan agama yang mengharamkannya. Karena Tuhan berperan utama dalam penyusunan DNA dan struktur otak manusia, maka penikmat media yang awam cenderung menyimpulkan bahwa Tuhanlah yang mentakdirkan sebagian manusia menjadi gay, sehingga tidak logis jika Tuhan menghukum manusia atas kondisi yang diciptakan-Nya. Jika yang bersangkutan gagal menemukan solusi dari konflik ini, maka ia cenderung mengalami rasa berdosa dan depresi, atau penurunan keyakinan atas ajaran agama dan norma sosial. Pachankis & Goldfried menyatakan, para gay cenderung untuk menjadi penganut yang relatif kurang taat, mereinterpretasi pemahaman agamanya sehingga homoseksualitasnya menjadi “anugerah Tuhan”, berpindah afiliasi ke agama yang lebih toleran, lebih mendalami aliran spiritual daripada agama formal, atau menjadi atheis [5].

Kembali ke peran media. Penulis berpendapat, para insan media tentu sudah amat paham bahwa satu fenomena bisa ditinjau dari beberapa sudut pandang. Dalam isu homoseksualitas, sudut pandang yang berbeda bisa dicapai jika media lebih kritis terhadap informasi-informasi yang taken for granted sebagai fakta ilmiah. Menggali figur-figur yang terlibat langsung dalam fenomena tersebut adalah nilai tambah bagi kedalaman ulasan, namun mengangkat figur-figur tersebut dari satu link saja atau beberapa sumber yang bervisi sama hanya akan menghasilkan ulasan satu sisi saja. Ini bisa ditempuh, misalnya dengan mewawancarai subjek yang bukan merupakan bagian organisasi atau komunitas gay, atau orang-orang yang mengaku telah “bertobat” atau “sembuh” dari kehidupan gay-nya sebagai imbangan. Dengan demikian, media massa tidak terkesan menggiring konsumennya ke satu pandangan dengan menyuapkan satu sisi cerita saja, namun membuka ruang untuk munculnya wacana yang berbeda, dengan menawarkan berbagai sisi tinjauan. Diharapkan masyarakat bisa lebih berdaya dalam memilih sikapnya atas fenomena homoseksualitas ini.

[1] David Simmons, "Sex and the Brain," Discover, March 1, 1994
Dikutip dari
http://www.narth.com/docs/correctionletter3.html
[2] Drs. A. Dean Byrd, Shirley E. Cox, Jeffrey W. Robinson, "The Innate-Immutable Argument Finds No Basis In Science: In Their Own Words: Gay Activists Speak About Science, Morality, Philosophy," NARTH web site
[3] "New Evidence of a 'Gay Gene'," by Anastasia Toufexis, Time, November 13, 1995, vol. 146, Issue 20, p. 95
[4] J. Satinover, M.D., Homosexuality and the Politics of Truth (1996). Grand Rapids, MI: Baker Books
Dikutip dari
http://www.narth.com/docs/bornway.html
[5] Pachankis & Goldfried, dalam “Clinical Issues In Working With Lesbian, Gay, And Bisexual Clients,” Psychotherapy: Theory, Research, Practice, Training, September, 2004, Vol. 41, No. 3, pgs. 227-246
Dikutip dari
http://www.narth.com/docs/nystate.html
 

Tulisan : Paraclytos

3 comments:

afiy said...

Trial By the Press,

Ugh, andai saya tau seperti apa kode etik pers itu.

Sudah beberapa kali saya diberi tugas menelaah kasus/fenomena sosial indonesia.
Sebagai mahasiswa yg mau cepet, pastinya ngumpulin data empiris lewat internet.

Dari sini saya dan temen2 saya sering dapet fakta2 tabrakan antara satu artikel dengan artikel lain, antara yg pernah di blow-up dan fakta yg tersembunyi.

Tapi justru fakta2 yg di blow-up yg mengendalikan pemikiran masyarakat terhadap suatu masalah.

Suasana Indonesia memang pas buat diprovokatori,
sudah persnya tukang ngejudge,
masyarakatnya jugan ngga kritis.

Kampanye2 ky gini ngga menutup kemungkinan menarik kata "wajar dan tidak salah" dari masyarakat untuk eksistensi kaum Q.
Dan kemungkinan terburuk... (ah, enggan nyebutin)

Well, semoga blog ini bisa membantu menyadarkan masyarakat terhadap "trial2" yg bisa memutarbalikkan pemikiran masyarakat.
Terutama tentang cinta dan kemurniannya..

Anonymous said...

heran juga...
kalau lo cowo sejati ngapain sibuk banget ngurusin masalah gay...

kayaknya sikap lo itu adalah bentuk penolakan diri anda yang sesungguhnya gay....

dalam keilmuan psikologi dikenal gay ego sintonik dan distonik. gay ego distonik tidak mampu menerima kenyataan dirinya adalah seorang gay dan akan melakukan hal-hal yang berlebihan terhadap ke-gay-an dirinya, juga terhadap orang lain. Contoh kasusnya ya seperti lo ini.
kasihan banget.

Pengakuan Gay Indonesia said...

Jika anda gay manly, sedang nganggur? cari kerjaan? Niat tuk merantau... Asal berijasah min SMA,
usia dibawah 30th.
Siap mandiri.
Kalo cocok, nyambung, & sepikiran, aku backing anda slama disini, sampai dapat kerja.
Yg pasti kenali aku dl... Add / kontak aku O856646OO785