Serba-serbi Gay



Sebagai orang yang memiliki SSA (apalagi yang pernah merasakan nimatnya melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis), pastilah kita pernah merasakan konflik antara dorongan dan kenikmatan homoseksual kita dengan nilai2 yang mengutuk perilaku dan perasaan tersebut. Konflik itu berupa rasa bersalah atau berdosa, yang menimbulkan depresi dan kebingungan, sehingga berkuranglah kenikmatan kita dalam melakukan hubungan homoseksual. Kita mungkin juga pernah berusaha mencari pembenaran atas perasaan dan perilaku kita, dengan harapan bisa meredakan konflik tersebut.
Salah satu jalan yang ditempuh guna melakukan pembenaran itu adalah dengan mentafsir ulang nilai homoseksual di mata budaya, masyarakat, dan agama. Seperti yang sudah kita ketahui, agama (yang lahir di Timur Tengah) merupakan ‘musuh alami’ dari perilaku homoseksual. Dalil2 yang mengutuk perilaku homoseksual berlimpah-ruah, sehingga umatnya yang kebetulan memiliki SSA dan mewujudkan dorongannya ke dunia nyata dalam bentuk perilaku homoseksual dijamin akan mengalami pertentangan batin dalam bentuk rasa berdosa, kepada Tuhan dan malu jika diketahui oleh masyarakat yang menganut keyakinan yang sama. Dengan mentafsir ulang dalil2 tersebut menjadi lebih friendly, pentafsir dan pengikut tafsiran tersebut diharapkan bisa menjalankan perilaku homoseksualnya dengan nikmat dan tanpa rasa berdosa.
Salah satu contoh pemelintiran dalil agama bisa dibaca pada situs http://www.freewebs.com/salamogay , dimana penulisnya bersusah-payah meniti keyakinan homoseksual itu tidak berdosa, dengan berakrobat melompati dalil2 yang jelas2 menyatakan demikian. (Itu jika dianalogikan dengan pemain akrobat. Bisa juga kita analogikan dengan pesulap yang mengubah benda2 dengan trik2nya, atau pembuat martabak yang membolak-balikkan martabaknya di penggorengannya.) Berikut ini adalah trik2nya:
  1. Menimbulkan anggapan seolah-olah para ahli kedokteran dan kejiwaan bersepakat bahwa homoseksualitas bukan penyakit, tidak diketahui penyebabnya, dan tidak bisa ‘disembuhkan.’ Menurutnya, orang awamlah (baca: heteroseksual) yang bertanggung jawab menilai mereka sebagai ‘sakit.’
  2. Di satu sisi berusaha memisahkan antara aturan eksak dan non-eksak, di sisi lain berusaha mencampuradukkan eksak dan agama dengan menimbulkan anggapan seolah-olah ahli kejiwaan berpendapat bahwa menjadi gay adalah karena takdir.
  3. Menyangkal kemampuan dan kenyataan sebagian homoseks untuk menikah, dengan menimbulkan anggapan seolah-olah fakta itu bohong tanpa kecuali.
  4. Menyamakan kompleksitas homoseksual dengan atribut sederhana seperti misalnya warna kulit, atau dengan refleks2 seperti bernafas.
  5. Melakukan kesalahan fatal dalam mengangkat dalil perzinahan, dalam hal jumlah saksi, kriteria perilaku zinah, status anak hasil perzinahan, kewajiban pezinah, dan kemahapengampunan Allah swt.
  6. Menimbulkan anggapan bahwa pria homoseksual yang menikah pasti akan berselingkuh, dan tidak mungkin mencintai anak kandungnya dengan setulus hati.
  7. Menggunakan gaya debat “daripada”, sehingga seolah-olah apa yang dibelanya adalah hal yang baik. Biasanya, para remaja membandingkan masturbasi dengan hubungan seks pranikah untuk menonjolkan betapa ringannya dosa masturbasi dan karenanya dianggap baik, padahal sebetulnya cuma lebih baik, dan itu tidak sama dengan baik. Dalam hal ini, ia membandingkan perilaku homoseksual dengan bunuh diri. Ia berharap bisa memeras Tuhan menggunakan logika keterpaksaan.
  8. Mencampuradukkan unsur-unsur homoseksualitas, sehingga pembaca yang tidak jeli gampang terjebak dalam logikanya. Dalam homoseksualitas, ada unsur arah ketertarikan, dorongan seksual, perilaku seksual, dan sikap terhadap seksualitasnya. Boleh jadi seseorang dilahirkan dengan bakat arah dorongan seksual ke sesama jenis, namun ia punya andil untuk menentukan takdirnya apakah akan mendapat murka atau ridha-Nya dengan cara berperilaku atau tidak berperilaku sebagaimana yang disukai-Nya. Namun si penulis menggunakan istilah gay, seolah-olah orang yang memiliki arah ketertarikan ke sesama jenis pasti akan mewujudkan dorongannya menjadi perilaku homoseksual, dan ridha (tidak menyesali) perilakunya. Ia mereduksi identitas seksual berdasarkan orientasi seksualnya saja.
  9. Bukti utama yang menunjukkan bahwa ia mengagungkan pikirannya dan meremehkan agama adalah pemenangan buah pikirannya atas dalil2 agama yang telah ditafsirkan oleh para cendekiawan dan ulama Islam, tanpa melalui proses pengkajian, misalnya peer review.
  10. Tidak menangkap inti dari ayat2 Quran yang berkisah mengenai umat Luth as. Inti kecaman Allah swt dan Luth as terhadap umat Luth as adalah agar umat Luth as itu mengubah perilaku homoseksualnya menjadi heteroseksual dan menata hatinya (bertakwa), bukan agar mereka menyukai lawan jenis Tujuannya adalah proses atau usaha, bukan untuk hasilnya karena Allah swt yang menentukan hasilnya. Bahkan seandainya nyata2 ayat Quran menceritakan umat Luth as akhirnya bertobat dan hidup secara heteroseksual, ia tetap gigih mengingkarinya.
  11. Menggunakan elemen-elemen nasrani untuk menata dalil2 islami, misalnya salib, sifat manusiawi tuhan (kecewa, terpaksa, merespon dengan buruk, meminta), dan peran malaikat sebagai korban pelecehan umat Luth as. Dalam hal salib, Islam sangat tegas melarang umatnnya dari menggunakan simbol-2 agama lain. Pensifatan tuhan seperti itu justru melemahkan ke-Maha-an Allah swt. Sedangkan peran malaikat, justru ayat2 al Quran menjelaskan bahwa azab itu dipersiapkan sebelum malaikat itu sampai ke kota terkutuk itu. Jadi, Allah swt tidak mengumpankan malaikat2 itu supaya punya alasan untuk membalikkan kota itu.
Konklusi:
Bisa ditarik gambaran kepribadian si penulis, ia adalah seorang homoseksual yang gagal mengalahkan nafsunya. Ia beranggapan bahwa hidupnya akan jauh lebih ringan apabila ia menjatuhkan diri dan menyerah kepada nafsunya, bukannya tunduk kepada nilai-nilai agama. Agar agama tidak lagi mengganggu aktivitasnya bersenang-senang dengan aktivitas homoseksualnya, maka ia berusaha untuk memelintir dalil2 tersebut agar sesuai dengan keinginannya dan tunduk kepada nafsunya.
Ia pernah mengalami penderitaan akibat tekanan dari orang-orang di sekitarnya (yang heteroseks) berupa kecaman, tudingan, dan desakan untuk menikah. Sayangnya, orang-orang heteroseks di sekitarnya tidak siap untuk membimbing dengan empatis, bahkan tidak pula mampu memberi contoh yang baik, misalnya masih suka berzina. Akibatnya, timbullah karakter ‘heterophobia.’
Tiadanya contoh yang baik dan bimbingan yang empatis inilah yang membuatnya semakin ragu dengan kebenaran hakiki yang diwakili oleh agama. Agama di matanya menurun nilai dari wahyu Tuhan menjadi produk heteroseksis. Meski demikian, karena ia ingin agar meraih banyak dukungan di tengah masyarakat yang masih memegang nilai agama, maka ia berusaha untuk memperhalus penyampaiannya dan secara politis menimbulkan anggapan bahwa yang salah adalah tafsirannya, bukan wahyu-Nya. Karena yang menafsirkan adalah orang-orang awam yang heteroseks, maka tafsirannya pun memihak heteroseks dan meminggirkan homoseks.
Karena itu pulalah, ia berusaha untuk meniadakan tekanan yang dialaminya untuk menikah, dengan cara mengatasnamakan fiqih, seolah-olah fiqih Islam melarang pernikahan yang dilakukan oleh seorang homoseks. Padahal, ini hanyalah hasil buah pikirnya, yang tidak otomatis diterima menjadi fiqih Islam. Justru dalam Al-Quran ditemukan dalil yang mewajibkan orang-orang yang memiliki SSA untuk menikah, yaitu Huud 78-79:
  1. Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: "Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?"
  2. Mereka menjawab: "Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kami tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki."
Lebih jauh lagi, ia berusaha mendapatkan pembenaran untuk mengharamkan pernikahan orang ber-SSA secara mutlak, dengan menetapkan standar ganda bahwa kalau ada orang dengan SSA berkadar kecil, maka haram untuk menikah. Lalu, bagaimanakah dengan orang homoseks yang memiliki kadar heteroseksual 1%, tidakkah ia juga jadi haram berhubungan homoseksual?
Pada dasarnya, ia bukanlah seseorang yang tertarik pada upaya mencari dan menemukan kebenaran yang sejati; Ia hanya ingin agar bisa bersenang-senang dengan perilaku homoseksualnya. Oleh karena itu, ia tidak segan-segan untuk berpindah-pindah pihak dan pendirian, asalkan tujuannya tercapai. Buktinya, ada ketidakkonsistenan dalam uraiannya. Mula2 ia mati2an berusaha menegaskan bahwa para ahli berpendapat kalau homoseksualitas bukanlah penyakit. Namun kemudian ia berusaha mendapatkan keringanan bagi homoseksual, dengan cara menganalogikannya dengan penyakit. Ketidakkonsistenan yang sama juga ditemukan pada pernyataannya bahwa bayi2 lahir tanpa dipaksa, namun selanjutnya ia bertanya, mengapa memaksa bayi-2 itu lahir.
Pandangannya tentang homoseksualitas sebagai bencana tidak sesuai dengan fakta yang banyak ditemui. Orang-orang yang memiliki SSA dalam dirinya tidak meratapi hilangnya kemungkinan untuk menikah dan memiliki anak. Mereka hanya bertanya-tanya, apakah jika aku menikah kelak, aku bisa berhubungan seksual dengan istriku? Kenapa aku dapat cobaan seperti ini? Boro2 mau berpikir soal punya anak, apalagi pahala pernikahan.
Dalam upayanya memelintir dalil2 agama, akhirnya ia menemui jalan buntu berupa ketidakkonsistenan. Namun demikian, jalan buntu ini semestinya bisa dihindari andaikata ia mau mengakui bahwa yang ia coba benturkan sebenarnya bukanlah 2 dalil agama, melainkan dalil agama dengan angan2nya sendiri!
Seandainya mampu, ia pasti akan mencoba memeras Tuhan. Buktinya, ia menggunakan logika “terpaksa” untuk membolehkan perilaku homoseksual. Ia mencoba berdalih di hadapan Tuhan, “Karena Engaku tidak mengijinkan aku bunuh diri, maka bolehkan aku berperilaku begini. Biarkan aku bersenang-senang. Jika tidak, ijinkan aku bunuh diri!”
Kesalahan2 yang dilakukan oleh penulis meyakinkan kita bahwa sebenarnya ia sama sekali bukan muslim! Ia adalah nonmuslim yang mengambil sumber2 dalil2 Islami, dan meramunya dalam logika yang dikendalikan oleh nafsunya. Ini dibuktikan dengan menata logika berdasar dalil2 islami dalam lambang agama nasrani (salib), kesalahan dalam menjelaskan seluk-beluk hudud bagi zinah, peran malaikat sebagai calon korban pelecehan oleh kaum Luth as, dan pensifatan Tuhan yang terlalu manusiawi (Tuhan terpaksa, tuhan kecewa, tuhan meminta, tuhan merespon dengan buruk). Pensifatan ini lebih lazim dalam Bibel dan ajaran nasrani, namun tanpa bukti yang nyata tentunya kita tidak boleh sembarangan menuduh.


Pendek kata:
  • Bisa jadi ia muslim, bisa juga nonmuslim. Apapun itu, ia termasuk yang berpandangan liberal. Namun kemungkinan lainnya, ia adalah orang yang tidak beragama; Agama digunakannya sebagai alat saja.
  • Tidak mengikuti perkembangan ilmu yang terbaru atau sengaja melewatkannya karena tidak ingin ‘sembuh’ dan dituntut untuk ‘sembuh.’ Ia bahkan tidak mengetahui bagaimana proses penentuan abnormalitas suatu fenomena oleh para ahli edis dan kejiwaan.
  • Sehubungan dengan homoseksualitasnya, ia mendapatkan pengalaman yang tidak menyenangkan dari orang-orang heteroseks di sekitarnya, sehingga tumbuh jadi seorang ‘heterophobia,’ serta overestimate terhadap kebaikan gay.
  • Banyak pengalaman di komunitas gay, sehingga menarik kesimpulan bahwa para gay pasti berselingkuh dari istrinya. Namun ia tidak memiliki pengalaman di komunitas non-gay yang masih berkonflik batin atau sudah menikah.
  • Oportunis, machiavellian. Ia tidak segan-segan untuk berkhianat, berpindah pihak, dan menjungkirbalikkan norma agar seleranya seolah-olah sah.
  • Tidak toleran terhadap orang lain yang senasib, tapi tidak seperjuangan. Yaitu orang-orang yang merasakan ketertarikan homoseksual tapi berusaha mengekangnya dan melampiaskan dorongan itu dalam ikatan pernikahan yang sah.
Sebagai penutup bisa dikatakan bahwa upaya untuk merombak tatanan yang anti-homoseksual bukanlah hal yang baru, Satu per satu batu penghalang sudah berhasil dijungkirkan. Kini, giliran agama yang dicoba dijungkirbalikkan. Hanya para gay yang cukup putus asa terhadap rahmat Allah sajalah saja yang bersegera mengikutinya, demi memuaskan nafsunya. Persis seperti kaum Luth as yang bersegera untuk menyambut kehadiran tamu-tamu Luth as. Dan mereka, sebagaimana yang telah digambarkan dalam Al Quran, benar2 terombang-ambing dalam kesesatan.